Pemilik Hewan Yang Sok Tahu
Pemilik hewan kesayangan semakin hari semakin meningkat jumlahnya, baik itu yang memelihara kucing, anjing, kelinci dan satwa eksotik seperti burung, reptil, dan lainnya. Meningkatnya kuantitas pemilik hewan tampaknya belum diimbangi dengan meningkatnya pemahaman akan kesehatan hewan kesayangan. Pasalnya, masih banyak ditemukan pemilik hewan (terutama pemilik kucing dan anjing) yang mengobati hewannya tanpa memeriksakannya ke dokter hewan. Gawatnya, mereka memberikan antibiotika tanpa mengetahui peruntukan, dosis, waktu penggunaan dan efek samping dari antibiotika yang diberikan kepada hewan kesayangannya.
Ketika ditanyakan alasan yang mendasarinya, sering sekali mereka akan mengatakan bahwa jenis dan dosis antibiotika diperoleh dari teman ataupun komunitas dengan anggapan bahwa hewan yang sebelumnya juga sembuh ketika diberikan antibiotika seperti yang digunakannya. Inilah bentuk pemelihara hewan yang bisa dibilang sok tahu dan "ngeyel". Para pemilik hewan seperti ini tidak mempertimbangkan apakah tepat penggunaannya, apakah ada efek sampingnya dan apakah berpotensi resistensi.
Dan kasus seperti ini sangat banyak dijumpai. Padahal penggunaan antibiotika harus dan wajib melalui dokter hewan. Lho kenapa?
Saat memeriksa hewan yang sakit atau ada tanda-tanda sakit, dokter hewan akan membuat suatu diagnosa banding melalui pengumpulan data-data pasien secara ilmiah (yaitu riwayat sakit si hewan atau disebut anamnesa, pemeriksaan fisik, pengambilan sampel, dan sampai pemeriksaan laboratoris). Setelah data-data terkumpul, maka dokter hewan akan membuat diagnosa banding mengenai dugaan-dugaan penyakit yang diderita si hewan dan kemudian akan menentukan terapi/obat apa yang tepat dan efektif untuk mengatasi penyakit tersebut.
Apabila hewan sakit karena penyakit infeksi, terutama bakteri, tentu antibiotika lah yang wajib digunakan. Namun, terdapat beberapa jenis dan golongan antibiotika yang bisa digunakan di hewan dan masing-masing mempunyai efektivitas tersendiri serta efek samping. Dokter hewan lah yang memahaminya. Apabila pemilik hewan yang awam dan sok tahu, tiba-tiba saja dengan persepsinya sendiri menggunakan salah satu antibiotika dan muncul efek samping, maka pemilikk hewan tersebut bisa dipersalahkan karena termasuk meracuni hewannya sendiri.
Kemudian, perkembangan di dunia saat ini, antibiotika sangat terbatas jenis dan golongannya, bahkan penemuan-penemuan golongan baru antibiotika sangat lambat. Penemuan golongan baru antibiotika ini ibarat berpacu dengan waktu, yaitu berpacu atau berlomba-lomba dengan mutasi bakteri-bakteri yang bersifat infeksius. Nah, dari kondisi ini, dunia tengah menghadapi masalah resistensi antibiotika. Antibiotika yang dulunya ampuh untuk membunuh misalnya bakteri A, tiba-tiba tidak ampuh lagi, padahal golongan baru yang ampuh masih belum ditemukan. Jika sudah begini, bagaimana cara membunuh bakteri A tersebut?, kemudian berapa banyak manusia dan juga hewan yang kemudian akan mati terinfeksi karena tidak ada antibiotika yang ampuh?
Apa yang menyebabkan resistensi tersebut?
Resistensi mikroba terhadap antibiotika dapat terjadi oleh adanya penggunaan antibiotika yang tidak sesuai peruntukan, tidak tepat dosis dan tidak tepat waktu. Jika tidak tepat dosis dan waktu, antibiotika yang digunakan tidak bisa membunuh bakteri, kemudian bakteri yang tidak mati akan beradaptasi secara molekuler supaya tahan terhadap antibiotika tersebut, atau yang dinamakan sebagai mutasi. Bakteri ini kemudian bisa berpindah dari satu individu inang (misalnya hewan) ke inang yang lain atau bahkan ke lingkungan dan mempengaruhi bakteri sejenis lainnya untuk juga bermutasi. Akhirnya bakteri menjadi kuat dan super, karena mereka mampu melawan antibiotika.
Penggunaan antibiotika yang tidak tepat peruntukan, tidak tepat dosis dan tidak tepat waktu sering dan banyak dilakukan oleh para pemilik hewan yang sok tahu, dan mungkin juga komunitas pecinta hewan. Dengan dalih lebih murah, mudah diperoleh di apotik atau toko online dan dalih pengalaman komunitas atau teman; maka dipakailah cara-cara kotor seperti ini. Para pemilik hewan yang seperti ini sebenarnya telah menyumbangkan faktor-faktor resistensi bakteri yang suatu saat bisa membesar dan bisa saja terjadi pandemi.
Podcast ini juga menyoroti tentang kurang ajar-nya pet shop-pet shop (baik online ataupun offline) yang menjual obat yang katanya untuk infeksi hewan (misalnya anti-pilek, anti-mencret) yang mengandung antibiotik. Mereka menjual dengan mudahnya tanpa ada anjuran dokter hewan. Bagi pemilik hewan harusnya lebih bijak dalam mengobati hewan kesayangannya. Berobat ya harus ke dokter hewan. Jangan langsung membeli obat dari pet shop yang tidak ada praktek dokter hewannya. Terbentur biaya?, omongkan saja secara jujur ke dokter hewan. Harusnya memiliki hewan kesayangan ibarat mempunyai anak, pemelihara harus siap segala-galanya, termasuk cinta kasih dan biaya.
Bijaknya penggunaan antibiotika akan menyelamatkan nyawa hewan kesayangan, hewan lain, masyarakat dan lingkungan hidup.
Salam,
VetNotes Podcaster & Blogger
Comments
Post a Comment